LATAR BELAKANG TENTANG SAHAM.
Halo Saudara, saat ini kita
mempelajari tentang saham. Saham itu sebenarnya apa sih?? Katakanlah dua buah
toko kelontong dari kecil hingga besar ingin membuat sebuah unit usaha yang
dinamakan perusahaan. Nah faktanya kedua toko itu harus menyertakan modal
disetor, memprosesnya, membuat akte pendirian perusahaan atau PT. Modal yang
disetor akan diubah menjadi surat-surat  yang disebut surat penyertaan. Jadi
modal dalam bentuk uang itu diubah menjadi surat-surat yang penyertaan. Surat
penyertaan itu disebut saham.
Ide dasar tentang saham adalah
pembagian modal yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah usaha. Memulai sebuah
usaha dari awal tidaklah mudah, ada resiko-resiko yang harus ditanggung oleh
para pemilik modal dalam menjalankan usahanya. Dengan berbagi penyertaan modal,
pada prinsipnya para pemilik modal juga berbagi resiko sehingga resiko yang
ditanggung oleh masing-masing pemilik modal berkurang secara proporsional.
Pemilik modal yang menyertakan modal lebih besar tentu menanggung resiko yang
lebih besar, sebagai kompensasinya ia akan menerima keuntungan dengan proporsi
lebih besar ketimbang pemilik modal lainnya. Agar penghitungan proporsi
tersebut sah, dibuatlah lembaran dokumen persetujuan untuk menguatkan hak-hak
para pemilik modal, yang sekarang dikenal sebagai lembaran saham.
Kaum Publican (± 3 SM): Aplikasi
Bagi Hasil Pertama di Dunia
Ide tentang pembagian penyertaan
modal dan pembagian keuntungan sudah dikenal sejak lama. Kita dapat menelusuri
sejarah tentang saham hingga zaman Imperium Roma. Pada zaman tersebut,
pemerintah Roma mengontrakkan layanan kepada sekelompok pengusaha swasta yang
disebut kaum publican. Kaum Publican adalah kontraktor umum yang berperan
sebagai penyedia jasa yang dibutuhkan oleh pemerintah, seperti mengurus
persediaan dan logistik militer, mengelola pajak suatu wilayah atau pelabuhan,
dan pengerjaan proyek pembangunan fasilitas umum.
Sistem yang berlaku dalam
penentuan proyek kepada Kaum Pulican adalah sistem tender, dimana Kaum Publican
memberikan penawaran harga kepada pemerintah. Sebagai contoh adalah pengelolaan
pajak. Wilayah Imperium Roma terbentang luas dari Eropa, Timur Tengah dan
Afrika Utara. Pada saat itu pemerintah
terfokus pada ekstensi wilayah jajahan dan penguatan militer, namun kekurangan
sumber daya manusia untuk mengumpulkan pajak di wilayah yang luas tersebut,
oleh karena itu pengumpulan pajak diserahkan kepada pihak swasta. Setiap
beberapa tahun pemerintah melakukan lelang untuk pengumpulan pajak di daerah
jajahannya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, pemenang dari lelang
adalah orang yang dapat memberikan penawaran tertinggi pajak yang dapat
dikumpulkan dari daerah tersebut. Pembayaran pajak kepada pemerintah dilakukan
pada akhir tenggang waktu yang ditentukan, dengan nominal yang diajukan pada
saat penawaran. Kaum publican yang melakukan pengumpulan pajak akan mendapatkan
komisi dari pajak tersebut. Selain itu setiap kelebihan yang diperoleh dari
pengumpulan pajak akan dihitung sebagai keuntungan, sebaliknya jika pengumpulan
pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah yang harus dibayarkan mereka harus
menutupi kekurangan tersebut.
Sistem tersebut jelas memberikan
resiko yang besar kepada kaum publican. Oleh karena itu Kaum Publican
didominasi oleh kaum kapitalis yang memiliki modal. Selain itu, mereka sering
membentuk kerjasama dalam melakukan pengumpulan pajak sehingga resiko yang
ditanggung oleh masing-masing orang menjadi lebih kecil. Perjanjian kerjasama
ini disebut "socii" untuk kerjasama yang melibatkan banyak pihak, dan
"particulae" untuk kerjasama yang melibatkan sedikit pihak. Peran
Kaum Publican berangsur-angsur berkurang setelah Imperium Roma berhenti
melakukan ekspansi dan membenahi sistem birokrasi dalam pemerintahannya.
Stora Kopparberg (850-an s.d.
sekarang):
Dokumen Saham Pertama di Dunia Eksploitasi tembaga di Falun,
Swedia dilakukan sejak tahun 850-an oleh dan tambang tembaga mulai beroperasi
sejak 1080 yang dikelola oleh penduduk lokal. Dokumen tertulis pertama yang
menjelaskan tentang tambang tersebut dikenal sebagai Deed of Exchange
tertanggal 16 Juni 1288. Dokumen ini disahkan oleh Raja Swedia, Magnus Biggerson.
Uskup Kepala Uppsala dan tiga uskup lainnya. Dalam dokumen ini dijelaskan
pembagian seperdelapan hasil dari tambang kepada Peter, seorang Uskup dari Västerås. Pada
saat itu pengelolaan dan administrasi tambang bukan lagi dilakukan secara
parsial oleh penduduk lokal, namun dilakukan oleh sebuah organisasi yang
terorganisir dengan baik. Organisasi tersebut kebanyakan terdiri dari para
Bangsawan Swedia dan pedagang-pedagang dari luar negeri, terutama
pedagang-pedagang dari Lübeck, Jerman Utara yang banyak berinvestasi dalam
pendirian tambang-tambang tersebut.
Dokumen lain yang dapat
menggambarkan kondisi pada waktu itu adalah Charter of Privileges yang
dikeluarkan oleh Raja Magnus Eriksson pada tahun 1347 yang mengatur perihal
operasi tambang di Falun. Raja Magnus Eriksson membentuk organisasi pekerja
tambang yang dikenal sebagai "Bergsmännen" yang artinya manusia
gunung. Raja kemudian menunjuk empatbelas orang dari para pekerja tersebut
untuk duduk dalam Dewan Tambang dan dua diantaranya ditunjuk menjadi Menteri
Urusan Tambang. Tugas dari Menteri Urusan Tambang dan Dewan Tambang adalah
untuk memastikan bahwa tambang tetap beroperasi sesuai dengan undang-undang.
Swedia menjadi negara superpower
pada abad ke-17. Ekonomi Swedia digerakkan oleh tiga komoditi: tembaga, besi,
dan tar, namun tembaga merupakan faktor yang paling berpengaruh. Sebagian besar
hasil tambang tembaga diekspor ke luar negeri, tembaga Swedia bahkan memainkan
peranan penting di pasar Eropa pada waktu itu. Saham perusahaan-perusahaan tambang
di Swedia menjadi incaran para kaum kapitalis. Tahun 1616, Raja Gustav II Adolf
mengeluarkan undang-undang yang membatasi jumlah saham yang beredar menjadi
1200 lembar dan jumlah kepemilikan saham menjadi 75 orang. Pada tahun 1619,
perusahaan tambang pertama didirikan oleh pihak swasta, namun pihak kerajaan
tetap memainkan peranan penting walaupun kepemilikannya dalam perusahaan
tambang telah berkurang. Pada abad ke-18, pamor tembaga mulai meredup.
Perusahaan-perusahaan tambang tembaga mulai beralih pada pengeksplorasian bijih
besi dan mengakuisisi perusahaan-perusahaan tambang dan pengolahan besi.
Tahun 1862, seluruh perusahaan
tambang dan tambang-tambang kecil yang dikelola oleh individu bergabung
membentuk sebuah perusahaan swasta, Stora Kopparbergs Bergslag. Hal tersebut
juga menandai akhir pengaruh pihak kerajaan dalam perusahaan tambang dan
pembubaran Kementrian Pertambangan. Pada tahun 1888, Stora Kopparberg menjadi
Aktiebolag (Perusahaan Terbatas milik publik), tiap lembaran saham yang seluruh
berjumlah 1200 lembar dikonversikan menjadi masing masing menjadi 8 lembar
saham senilai 1000 crown Swedia. Hal tersebut membuat nilai perusahaan menjadi
9,6 juta crown Swedia.
Sejarah mengenai Stora Kopparberg
adalah sejarah mengenai akuisisi dan alih teknologi. Dalam pengelolaan tambang,
perusahaan menyisakan tumpukan kayu hasil pembukaan lahan untuk pertambangan.
Untuk mengoptimalkan kayu tersebut, Stora Kopparberg mengakuisisi sebuah usaha
penggergajian kayu di Skutskär pada tahun 1885. Pada tahun 1888, perusahaan
membangun pembangkit listrik di Kvarnsveden falls untuk menyuplai kebutuhan
listrik pengolahan baja di Domnarvet, dan pengolahan kertas yang dibangun
belakangan pada tahun 1900. Untuk menambah produksi bijih besinya, Stora
Kopparberg mengakuisisi Gysinge Bruks Aktiebolag (1905), Söderfors Bruk
Aktiebolag (1907), Gammelstilla, Strömsbergs, Västlands, Hillebola, dan
Ullfors (1910-1920).
Pengakuisisian tambang-tambang
dan pengolahan-pengolahan bijih besi tersebut juga meningkatkan suplai bahan
baku untuk penggergajian kayu dan pengolahan kertas yang dimiliki oleh
perusahaan. Pada tahun 1956 produksi tambang besi mencapai 400 ribu ton per
tahun, dan produksi hasil hutan mencapai 175 ribu ton per tahun. Stora
Kopparbergs terus mengembangkan sayapnya dengan membangun pabrik-pabrik di luar
negeri. Pada tahun 1984. Stora Kopparbergs membangun Newton Falls Paper Mill di
New York, Amerika, pada tahun yang sama juga perusahaan mengadopsi nama STORA
sebagai identitas perusahaan.
Sementara produksi tambang mulai
menurun, STORA tetap melakukan merger dengan perusahaan-perusahaan besar
penghasil produk-produk hasil hutan di Eropa. Hingga pada awal tahun 1990-an,
Manajemen STORA memutuskan untuk berfokus kepada pengolahan produk-produk
kehutanan dan mendivestasikan perusahaan-perusahaan yang tidak terkait dengan
produk intinya. Pada tahun 1998 STORA melakukan merger dengan perusahaan
pengolah hasil hutan dari Finlandia, Enso Oyj, dan berubah nama menjadi
Stora-Enso Oyj. Berpusat di Helsinski, dengan jumlah pegawai lebih dari 46.000
orang, Stora-Enso Oyj sekarang ini menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar
di dunia dalam konteks kapasitas produksi, kelima terbesar di dunia dalam
konteks pendapatan, sekaligus sebagai perusahaan terbuka tertua di dunia yang
masih beroperasi hingga sekarang.
Vereinigte Ostindische Compagnie
(VOC) - (1602-1799): Pasar Modal Pertama di Dunia
Sejak Vasco Da Gama mempelopori
rute perdagangan dari Eropa ke India pada akhir abad ke-15, hubungan
perdagangan antar bangsa-bangsa di Eropa dengan bangsa-bangsa di Asia semakin
erat. Spanyol dan Portugis yang pertama kali melakukan perdagangan antar bangsa
tersebut tampil sebagai penguasa rute perdagangan, sekaligus sebagai penguasa
tanah jajahan di Asia dengan semboyan Gold, Glory, dan Gospel. Rempah-rempah
yang berasal dari Asia, terutama lada, menjadi komoditi utama perdagangan pada
saat itu. Para pedagang melakukan perdagangan kontrak berjangka kepada para
retailer yang kemudian mendistribusikannya ke negara-negara Eropa lainnya.
Dengan sistem kontrak berjangka
tersebut membuat para retailer harus menanggung resiko atas pengiriman dari
Asia ke Eropa, seringkali kualitas dan kuantitas yang diterima oleh para
retailer tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati di awal. Pada akhir
abad ke-16, para pedagang dari Belanda, sebagai retailer terbesar rempah-rempah
pada saat itu, memutuskan untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah yang
dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Mereka kemudian bergabung membentuk
Brabantse Compagnie, Rotterdamse Compagnie, dan Compagnie van Verre. Akibat dari keputusan
tersebut, persaingan antara para pedagang-pedagang di Eropa menjadi semakin
ketat. Ketika persaingan antar pedagang memanas, pihak pemerintah turut campur
dengan mempersenjatai armada-armada yang dikirimkan dalam misi dagang,
akibatnya perang antar negara-negara di Eropa tidak terelakkan lagi. Hasilnya
harga rempah-rempah menjadi jatuh.
Penurunan harga rempah-rempah dan
ketidakamanan dalam perdagangan memaksa para pengusaha Belanda untuk
bekerjasama dan bergabung menjadi sebuah perusahaan. Pada tanggal 20 Maret
1602, atas saran Gubernur Jendral Prinz Johann Moritz von Nassau (1606 - 1679),
tiga perusahaan besar di Belanda bergabung membentuk sebuah perusahaan berskala
nasional yang dikenal sebagai "Vereinigte Ostindische Compagnie"
(VOC). Pada mulanya VOC membuka enam kantor cabang: Amsterdam sebagai kantor
pusat perdagangan, Seeland, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setiap
cabang menunjuk calon Direksi hingga berjumlah 75 orang sebagai perwakilan,
dari ke-75 calon ini dipilih 17 orang yang menjadi Direktur Eksekutif
perusahaan.
Modal awal yang disertakan dalam
pembentukan perusahaan tersebut adalah sebesar 6.424.588 Guilders, jumlah yang
besar pada saat itu. Kunci sukses VOC dalam penggalangan modal adalah keputusan
yang diambil oleh para pemilik untuk membuka akses kepemilikan saham kepada
publik. Lembaran-lembaran saham tesebut terjual dengan cepat dengan harga
nominal 3000 Guilders, dan dapat diperjualbelikan. Harga nominal tersebut tidak
ditentukan oleh pemerintah, namun oleh perusahaan independen yang berperan
sebagai reseller dalam memperjualbelikan saham tersebut. Penjualan dan
pembelian sertifikat saham VOC dikelola oleh dua direktur, yang berpusat di
Amsterdam. Oleh karena itu Amsterdam Kontor yang merupakan kantor pusat VOC
dikenal sebagai Pasar Modal pertama di Dunia. Selain itu, VOC juga menerbitkan
sertifikat obligasi dengan jangka waktu 3 sampai dengan 12 bulan untuk menutupi
kebutuhan operasinya.
Kerajaan Belanda memberikan
keistimewaan hak-hak kepada VOC dalam melakukan operasinya, seperti: Hak
eksklusif untuk berdagang di Tanjung Harapan, hak untuk bernegosiasi tanpa
mediasi pemerintah pusat, hak untuk mengeluarkan kontrak dan beraliansi, hak
untuk mencetak koin dan mata uang sendiri, serta hak untuk membangun
benteng-benteng, menunjuk gubernur, dan membentuk pasukan tentara di daerah
jajahan Belanda. Dengan pemberian hak-hak istimewa tersebut, VOC menjadi sebuah
"negara dalam negara" dan memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang
sangat besar. Daerah kekuasaannya meliputi Pulau Jawa, Kepulauan Maluku,
Kepulauan Banda, Ternate, Makasar, Ceylon, dan Tanjung Harapan.
Perusahaan tersebut terus
berkembang walaupun terjadi beberapa kerugian-kerugian kecil yang dikibatkan
oleh pembajakan di Laut Cina Selatan, cuaca buruk, persaingan dengan pedagang
Eropa lainnya, pencurian, dan wabah penyakit yang menyerang awak armada
dagangnya. Sampai pertengahan abad ke-18, VOC berhasil menjadi perusahaan
monopoli terbesar pada waktu itu. Selama beroperasi, VOC memiliki 150 armada
dagang, 40 kapal perang, 20.000 pelaut, 10.000 tentara, dan lebih dari 50.000
penduduk sipil yang dipaksa untuk bekerja pada perusahaan. Perkembangan
tersebut juga mendorong pertumbuhan harga saham perusahaan. Pada awal mula perdagangannya,
saham VOC telah meningkat 10-15% diatas nilai nominalnya; pada tahun 1622
harganya meningkat 3 kali lipat; dan pada tahun 1721 meningkat hingga 12 kali
lipat.
Kerugian paling besar disebabkan
oleh inefisiensi dan korupsi yang menjalari tubuh perusahaan. Karena
mis-manajemen, VOC terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut pada tanggal 31
Desember 1799. Pada saat itu nilai sahamnya hanya sebesar 25% dari nilai
nominalnya. Pada akhir hayatnya, VOC meninggalkan hutang hingga 110 juta
Guilders yang dibebankan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, saat ini
istilah VOC lebih dikenal sebagai kepanjangan dari Vergann Onder Corruptie yang
artinya "hancur karena korupsi".
Pasar Modal di Amerika:
Pertumbuhan, Resesi, dan Alih Teknologi
Kebanyakan perdagangan saham dan
sekuritas didominasi oleh perusahaan armada perdagangan dan perdagangan
rempah-rempah pada masa-masa awal berdirinya pasar modal. Seperti yang telah
disebutkan Belanda merupakan tempat berdirinya Pasar Modal pertama di dunia,
lalu diikuti oleh Portugis, Spanyol, Perancis, dan Inggris. Dengan masuknya
bangsa Inggris, yang memiliki armada perang terkuat di dunia pada saat itu -
the British Royal Navy - dalam percaturan perdagangan rempah-rempah dunia, maka
lalu lintas perdagangan mulai beralih ke Inggris.
Pasar Modal London memulai
debutnya dari pasar terbuka (outdoor market) di jalan Exchange Alley. Di jalan
tersebut para broker melakukan transaksi jual beli saham-saham
perusahaan-perusahaan perkapalan dan perdagangan Inggris. Pada tahun 1725,
transaksi mulai beralih dari jalanan ke kedai kopi Jonathon's Coffee House,
perdagangan saham pada saat itu masih bersifat non-formal, baru setelah sistem
perdagangan dibakukan pada tahun 1773, administrasi perdagangan saham menjadi
lebih tertata dan namanya berubah menjadi The Stock Exchange.
Sistem perdagangan saham
dikenalkan di Amerika oleh pendatang-pendatang dari Inggris di wiayah
koloninya. Pada mulanya perdagangan saham pada koloni Inggris masih terpusat di
London. Namun setelah Revolusi Amerika, dan kelahiran United States of America,
semua hubungan diplomatik maupun perdagangan antar Amerika dan Inggris
terputus, termasuk semua yang terkait dengan pasar finansial Inggris. Alexander
Hamilton, Sekretaris Bendahara (Secretary of the Treasury) pertama Amerika melihat
urgensi pendirian pasar modal yang independen di Amerika. Berdasarkan
pengalamannya mempelajari pasar modal di Inggris, Hamilton percaya bahwa pasar
modal merupakan hal yang esensial dalam membangun dan menjaga kestabilan
ekonomi sebuah negara. Selama periode jabatannya, 1789 sampai dengan 1795, ia
dedikasikan untuk mempromosikan pembangunan Pasar Modal di Amerika
Atas prakarsa Alexander Hamilton,
saham-saham tiga bank besar di Amerika mulai diperjualbelikan, walaupun pada
saat itu pasar modal belum lagi terbentuk. Saham-saham tersebut adalah saham
the Bank of North America (1781), Bank of New York (1784), dan the First Bank
of the United States (1791). Saham-saham ini diterbitkan untuk membayar hutang
perang revolusi yang ditanggung oleh the Continental Congress.
Seperti halnya pendahulunya di
Inggris, pasar modal di Amerika dimulai di luar ruangan. Pada tahun 1792, John
Sutton, Benjamin Jay, dan 22 pemimpin finansial menandatangani kesepakatan
pembetukan pasar modal di Amerika. Kesepakatan tersebut ditandatangani di bawah
pohon buttonwood di Castle Garden (sekarang Battery Park) dan berisi tentang
aturan main, regulasi, serta biaya yang akan dibebankan dalam setiap transaksi.
Mereka menamakan organisasi ini The Stock Exchange Office. Organisasi ini bersifat
eksklusif, hanya orang-orang tertentu yang menonjol dalam komunitas finansial
yang diperkenankan untuk bergabung, dan wanita merupakan kaum yang
termarginalkan dalam organisasi ini.
Perdagangan saham di Amerika
kemudian berkembang dengan pesat, sehingga pasar modal yang menjadi pusat
transaksi menjadi penuh sesak. Pada tahun 1817, para broker saham di New York
membentuk the New York Stock & Exchange Board dan meindahkan tempat
transaksi ke gedung No.40 di Jalan Wallsteet. Pada tahun 1863, nama organisasi
tersebut berubah menjadi the New York Stock Exchange (NYSE) dan berpindah lagi
di pusat transaksinya ke gedung di persimpangan Jalan Wallstreet dan Broad
Street, hingga hari ini NYSE tetap beroperasi dilokasi tersebut.
Meningkatnya perdagangan saham
terjadi seiring dengan berkembangnya ekonomi Amerika dan bertambahnya jumlah
perusahaan di Amerika. Pada tahun 1800, Amerika hanya memiliki 295 korporasi
besar, diman 20 diantaranya diperdagangkan sahamnya di pasar modal. Pada tahun
1835, perusahaan yang terdaftar di NYSE berkembang menjadi 121 perusahaan,
kebanyakan diantaranya adalah perusahaan kereta api yang berkembang pesat pada
era tersebut. Pada tahun 1869, jumlah perusahaan yang terdaftar di NYSE
bertambah menjadi 145 perusahaan, jenis industrinya pun bermacam-macam, mulai
dari perusahaan asuransi, baja, perlengkapan pertanian, perkebunan tembakau,
dan perusahaan manufaktur lainnya.
NYSE mengadopsi skala Dow Jones
Industrial Average (DJIA), atau lebih dikenal dengan Indeks Dow Jones. Nama
tersebut diambil dari gabungan Charles Dow dan Edward Jones, dua reporter yang
kemudian mendirikan perusahaan penerbitan Dow Jones & Company pada tahun
1882. Perusahaan tersebut menerbitkan surat kabar The Wallstreet Journal yang
berfokus kepada isu-isu finansial dan mengamati dengan seksama pergerakan harga
saham yang diperdagangkan di NYSE. Wallstreet Journal kemudian membentuk sebuah
indeks yang terdiri atas 11 perusahaan kereta api, dan pada tahun 1896
diperluas menjadi rata-rata industri yang kemudian diadopsi oleh NYSE sebagai
indeks rata-rata saham-saham papan atas.
NYSE bukanlah satu-satunya pasar
modal di kota New York. Pada awal pengembangannya, aturan mengenai pendaftaran
perusahaan pada NYSE sangat ketat, setiap perusahaan dikenai ongkos sebesar $25
agar bisa terdaftar di NYSE. Banyak pemilik perusahaan menengah yang hendak
mengembangkan usahanya dengan menjual sebagian kepemilikan sahamnya kepada
publik terbentur dengan aturan yang berlaku. Pada tahun 1842, sebagian broker
mencoba memfasilitasi pasar perusahaan menengah tersebut dengan membentuk the
New York Curb Exchange, yang kemudian berubah menjadi American Exchange (AMEX),
namun hingga kini julukan Curb Market
tetap melekat kepada AMEX. Perdagangan
saham di Curb Market pada mulanya dilakukan di halaman gedung tempat NYSE
berada. Hal tersebut tetap berlangsung hingga akhirnya AMEX menempati gedung
baru di Trinity Place, New York pada tahun 1921.
Tahun 1920-an merupakan tahun
tahun keemasan teknologi bagi sejarah Amerika, yang kemudian dikenal sebagai
Roaring Twenties. Berbagai inovasi seperti radio, otomotif, penerbangan,
telefon, dan pembangkit listrik mulai dikembangkan dan diterapkan secara luas
di Amerika. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Radio Corporation of
America (RCA) dan General Motors menjadi pionir dalam pasar finansial Amerika,
tidak ketinggalan perusahaan finansial yang menangani transaksi perdagangan dan
investasi seperti the Goldman Sachs Trading Corporation turut menjadi motor
penggerak perekonomian di Amerika.
Bank-bank di Amerika mencoba
memanfaatkan hal tersebut dengan memberikan kredit sebanyak-banyaknya kepada
perusahaan-perusahaan tanpa melakukan analisis terhadap kelayakan usaha.
Struktur hutang yang timpang menggandakan resiko kebangkrutan perusahaan, namun
hal tersebut tersamarkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika yang pesat. Pada
tahun 1929, Adolf Miller, Presiden the Federal Reserve Board, mengeluarkan
kebijakan uang ketat dan menaikkan suku bunga pinjaman secara agresif.
Akibatnya banyak perusahaan yang memiliki struktur hutang yang buruk menjadi
kesulitan dalam membayarkan kewajiban hutangnya. Hal tersebut diperparah dengan
aksi profit taking yang dilakukan oleh para investor di sektor finansial.
Berbagai pencetus tersebut kemudian menyebabkan krisis ekonomi terburuk yang pernah
dialami oleh Amerika dan mengakibatkan depresi ekonomi yang berkepanjangan.
Hari Selasa, tanggal 29 Oktober
1929, tercatat sebagai hari terburuk dalam sejarah finansial bangsa Amerika,
yang kemudian dikenal sebagai Black Tuesday. Krisis dimulai pada hari
sebelumnya tanggal 28 Oktober, terjadi aksi profit taking besar-besaran yang
menyebabkan Indeks Dow Jones turun menjadi 12.8%. Transaksi yang terlalu besar
menyebabkan sistem pita penghitung (the ticker tape system) menjadi kelebihan
beban dan rusak, padahal peranan pita penghitung tersebut amat vital sebab
menjadi satu-satunya sumber informasi investor tentang harga saham terkini.
Investor pun mencoba mencari informasi melalui telefon dan telegraf yang
menyebabkan kelebihan kapasitas dari kedua jaringan tersebut. Praktis pada hari
itu terjadi kebuntuan informasi yang membawa investor dalam kondisi kegamangan.
Keesokan harinya terjadi
kekacauan di lantai bursa. Investor yang tidak mengetahui perkembangan
informasi tentang pasar finansial, dan terdorong oleh resiko yang semakin besar
akibat berlakunya sistem margin trading, berbondong-bondong menjual saham-saham
yang mereka miliki. Dalam dua jam, nilai saham-saham papan atas turun hingga
lebih dari separuhnya, dan dalam dua minggu Indeks Dow Jones turun hingga 40%.
Amerika Serikat baru bisa keluar sepenuhnya dari krisis pada tahun 1932 setelah
kehilangan sekitar 89% nilai saham-saham perusahaan publik dari puncak
keemasannya.
Dalam rangka mengembalikan
kepercayaan investor pada pasar modal, Kongres Senat Amerika Serikat
mengeluarkan the Securities Act pada tahun 1933, yang mengatur perihal
operasional dan sistem yang berlaku pada pasar modal. Dan pada tahun 1934,
dibentuk Securities and Exchange Commission (SEC) yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang tersebut. SEC terdiri dari lima orang
komisioner yang ditunjuk oleh Presiden Amerika Serikat dan disahkan oleh senat,
Joseph P. Kennedy ditunjuk menjadi ketua komisi pertama SEC masa bakti
1934-1935. Guna melindungi investor
dari aksi kejahatan finansial, SEC mewajibkan setiap perusahaan yang terdaftar
dalam bursa efek untuk melaporkan keuangan perusahaan yang telah diaudit, serta
mengawasi setiap peralihan kepemilikan perusahaan-perusahaan di Amerika
Serikat.
Tahun 1971 menandai babakan baru
dalam sejarah pasar modal. National Association of Securities Dealers (NASD)
memperkenalkan National Association of Securities Dealers Automated Quotation
(NASDAQ) yang sepenuhnya menerapkan prinsip pasar modal elektronis untuk
pertama kalinya. Semua data kepemilikan saham dan transaksi keuangan
dikonversikan menjadi data-data elektronik yang disimpan dalam satu mainframe
computer. Perdagangan saham tidak lagi dipusatkan dalam satu tempat, namun
dapat dilakukan dari mana saja asalkan terhubung dengan sistem NASDAQ, suatu
konsep yang istimewa mengingat pada saat itu koneksi internet belum lagi ada
dan teknologi tidak secanggih sekarang. Sistem yang demikian dikenal dengan
istilah over-the-counter (OTC). Saham-saham yang diperdagangkan oleh NASDAQ
kebanyakan berupa saham-saham perusahaan teknologi seperti IBM, Microsoft,
Intel, Cisco, dan lain sebagainya, oleh karena itu Indeks yang dipakai oleh
NASDAQ sebagai patokan pergerakan saham-saham yang tergabung di dalamnya
dikenal sebagai Indeks Teknologi NASDAQ. Saat ini NASDAQ bahkan telah
mensponsori global stock market dengan membuka cabang di berbagai daerah di
luar negeri, diantaranya Kanada dan Jepang, serta berasosiasi dengan pasar
modal Hongkong dan Eropa.
SAHAM DAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN
Sistem bagi hasil sebagai bentuk
kompensasi kepada karyawan telah berlangsung sejak lama. Pada zaman feudalisme,
para tuan tanah menyadari bahwa memperkerjakan budak untuk mengurus ladang dan
perkebunan tidak ekonomis. Mereka tetap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
untuk memelihara dan memberi makan budak-budak tersebut, namun disisi lain para
budak tidak pernah menunjukkan antusiasme mereka dalam melakukan pekerjaan,
sehingga produktivitas mereka rendah. Sistem perbudakan lalu dihapuskan, para
tuan tanah lalu memperkerjakan buruh tani dan buruh ladang yang diupah dengan
menggunakan sistem bagi hasil. Namun sistem ini dirasakan tetap tidak manusiawi
karena proporsi yang didapatkan oleh para buruh tani tidak sebanding dengan
proporsi yang diterima para tuan tanah tersebut, selain itu jumlah penghasilan
yang diterima oleh para buruh tani tidak menentu sehingga menimbulkan
ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada zaman merkantilisme,
sistem bagi hasil diganti menjadi sistem upah tetap (fix income) yang regulasinya
diatur oleh pemerintah.
Walaupun sistem bagi hasil
dianggap usang dan tidak manusiawi, tidak berarti sistem tersebut hilang begitu
saja. Hingga zaman Revolusi Industri sistem ini masih diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan kecil dan perusahaan-perusahaan keluarga, tentu saja
dengan proporsi yang lebih adil. A. R.
J. Turgot, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis, adalah salah seorang
yang melihat keuntungan dari sistem bagi hasil ini. Pada tahun 1775 beliau
menerapkan sistem bagi hasil dengan struktur proporsi yang lebih baik di
perusahaan pengecatan rumah Maison Leclaire.Â
Sistem bagi hasil yang diterapkan pada perusahaan tersebut berbentuk
tunai yang langsung dibayarkan kepada para pekerjanya. Perusahaan yang pertama
kali memberlakukan sistem bagi hasil di Amerika Serikat adalah New Geneva, PA -
sebuah perusahaan yang memproduksi barang pecah belah - yang dipimpin oleh
Albert Gallatin pada tahun 1794. Sistem ini bejalan efektif dan terbukti mampu
meningkatkan kinerja para pekerja perusahaan tersebut, namun belum banyak
perusahaan yang terorganisir menerapkan sistem bagi hasil tersebut.
Ide tentang penerapan sistem bagi
hasil kemudian digagas lagi oleh Chaler Babbage (1792-1871) melalui bukunya On
the Economy of Machinery and Manufactures yang diterbitkan pada tahun 1832.
Dalam buku tersebut Babbage menyatakan bahwa pekerja dan pemilik perusahaan
harus memperoleh keuntungan mutual, oleh karena itu para pekerja harus
menikmati sebagian keuntungan dari perusahaan melalui pemberian bonus kerja selain
gaji yang telah mereka terima. Babbage mengklaim bahwa dengan menerapkan sistem
tersebut baik pekerja maupun pemilik perusahaan akan memperoleh keuntungan
karena setiap pekerja akan mempunyai rasa memiliki terhadap perusahaan, dan
oleh karena itu mereka akan bekerja lebih baik dan mencegah setiap tindakan
yang akan merugikan perusahaan agar bonus yang mereka terima meningkat. Selain
itu tidak akan ada lagi konflik kepentingan antara pihak manajemen dan pekerja
karena semuanya memiliki kepentingan yang sama.
Gagasan Babbage diterima oleh
banyak pihak dan bahkan dikembangkan sehingga memiliki banyak variasi sistem
insentif. Henry R. Towne menyarankan untuk memberikan insentif dengan sistem
bagi hasil yang dibagikan secara proporsional per departemen, sementara
Frederick A. Hasley lebih memilih untuk dibagikan secara proporsional menurut
kinerja seseorang. Banyak perusahaan besar mulai menerapkan sistem bagi hasil
melalui pemberian bonus kepada karyawannya, setidaknya terdapat 30 perusahaan
besar yang menerapkan sistem ini termasukÂ
John Wannamaker Dry Goods, Pillsbury Flour, Yale and Towne, Proctor and
Gamble (1887), Sears (1916), Kodak, dan Johnson's Wax (1917).
Pada saat pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat menggeliat pada tahun 1920-an, banyak pengusaha mengalihkan
sistem insentif yang diberikan kepada karyawannya, dari berbentuk bagi hasil
tunai menjadi sistem kepemilikan saham perusahaan melalui program employee
stock ownership plans (ESOPs). Dengan memiliki sebagian saham perusahaan, para
pekerja memperoleh tambahan penghasilan melalui dividen yang dibagikan setiap
tahun, bahkan setelah mereka tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut. Selain
itu mereka juga dapat menjual saham yang mereka miliki di pasar modal. Sistem
ESOP ini juga disukai oleh para pemilik perusahaan karena, walaupun proporsi
kepemilikan mereka berkurang, dengan menerapkan sistem ESOP perusahaan
mendapatkan berbagai potongan dan keringanan pajak.
Namun peristiwa Black Tuesday
yang diikuti depresi yang berkepanjangan membuat sistem ESOP ini gagal.
Memiliki saham pada saat itu bagaikan memakan buah simalakama, banyak pemilik
saham yang menyesal karena saham yang mereka miliki tidak lagi berharga,
sementara bagi pemilik saham yang telah menjual saham mereka sebelum Black
Tuesday juga tetap tidak merasakan manfaat dari hasil penjualan tersebut karena
tergerus inflasi yang sangat tinggi dan sebagian hilang bersama bank-bank yang
dilikuidasi. Akibatnya ESOP tidak lagi diminati, hasil survey pada tahun 1934
yang diselenggarakan oleh the National Industrial Conference Board menyebutkan
bahwa 42 % perusahaan telah berhenti menggunakan sistem ESOP, pada tahun 1937
meningkat menjadi 69%, dan pada tahun 1939 hanya tersisa 37 perusahaan yang
masih menerapkan sistem ESOP. Sistem ESOP kembali digunakan oleh perusahaan
setelah ekonomi Amerika Serikat mulai pulih pada tahun 1940-an, dan menjadi
trend pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1974 Kongres Amerika
Serikat meloloskan Employee Retirement Income Security Act (ERISA) yang
mengatur tentang standar minimum untuk program pensiun bagi perusahaan swasta
dan pengurangan pajak terkait dengan penerapan program kesejahteraan karyawan.
ERISA-lah yang kemudian mendasari dikeluarkannya Internal Revenue Code (IRC)
pada tahun 1978 yang merupakan prosedur standar sistem penetapan pajak oleh
Internal Revenue Service (IRS). Pasal 401(k) adalah salah satu pasal dalam IRC
yang terkenal, pasal tersebut mengatur tentang penyelenggaraan program pensiun
yang layak bagi karyawan melalui sistem bagi hasil dan bonus saham. Dengan adanya
insentif pajak tersebut, banyak perusahaan yang tertarik menerapkan program
401(k) dengan mengikutsertakan karyawannya dalam reksadana. Huges Air Craft
Company adalah perusahaan pertama yang menerapkan program 401(k) pada tahun
1978, diikuti oleh Johnson & Johnson, FMC, PepsiCo, JC Penney, Honeywell,
Savannah Foods & Industries, dan Coates, Herfurth, & England.
Dengan mengaplikasikan sistem
bagi hasil, baik secara tunai maupun berbentuk bonus saham,
perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan kepeduliannya terhadap
kesejahteraan karyawannya. Hingga saat ini, program ESOP maupun 401(k) masih
tetap banyak digunakan perusahaan-perusahaan di Amerika. Tercatat lebih dari 12
juta karyawan ikut serta dalam program ESOP pada tahun 2005 dan sekitar 42,4 juta
karyawan disertakan dalam program 401(k) pada akhir tahun 2003, beberapa bahkan
mendiversifikasikan beberapa program melalui reksadana baik atas inisiatif
pribadi maupun secara kolektif oleh perusahaan.
Perkembangan pasar modal di
Indonesia
Di Indonesia melalui web Bursa
Efek Indonesia dipaparkan sebagai berikut.
Secara historis, pasar modal
telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah
hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia.
Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada
sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan
seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal
mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada
pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa
efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.
Pemerintah Republik Indonesia
mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian
pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi
yang dikeluarkan pemerintah.
Secara singkat, tonggak
perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
14 Desember 1912 : Bursa Efek
pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
1914 - 1918 : Bursa Efek di
Batavia ditutup selama Perang Dunia I
1925 - 1942 : Bursa Efek di
Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
Awal tahun 1939 : Karena isu
politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
1942 - 1952 : Bursa Efek di
Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II
1952 : Bursa Efek di Jakarta
diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh
Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro
Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950)
1956 : Program nasionalisasi
perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.
1956 - 1977 : Perdagangan di
Bursa Efek vakum.
10 Agustus 1977 : Bursa Efek
diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM
(Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar
Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT
Semen Cibinong sebagai emiten pertama.
1977 - 1987 : Perdagangan di
Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat
lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.
1987 : Ditandai dengan hadirnya
Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk
melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
1988 - 1990 : Paket deregulasi
dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing.
Aktivitas bursa terlihat meningkat.
2 Juni 1988 : Bursa Paralel
Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang
dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
Desember 1988 : Pemerintah
mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan
untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar
modal.
16 Juni 1989 : Bursa Efek
Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik
swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ.
BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati
sebagai HUT BEJ.
22 Mei 1995 : Sistem Otomasi
perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated
Trading Systems).
10 November 1995 : Pemerintah
mengeluarkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang
ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.
1995 : Bursa Paralel Indonesia
merger dengan Bursa Efek Surabaya.
2000 : Sistem Perdagangan Tanpa
Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.
2002 : BEJ mulai mengaplikasikan
sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
2007 : Penggabungan Bursa Efek
Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Demikianlah penjelasan kami
mengenai definisi sederhana mengenai saham, sejarah perkembangan saham di dunia
dan Indonesia. Mari kita lanjutkan pembahasan kita lebih lanjut mengenai saham.
Jangan keburu mengantuk yah, hehehe.....